MAKALAH
PERMASALAHAN
PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah.
Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan
di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10
dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada
level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam
menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa
pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya.
Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi
para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam
membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan
pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih
parah lagi, pendidikan tidak mampu
menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta
dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya
pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,
padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.
B.
Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan
dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi
beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah mendasar
pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi
Pendidikan di Indonesia”.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa
saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas
pendidikannya semakin hari semakin menurun. Dari penulisan ini diharapkan
mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta wawasan penulis kepada
pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari
solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik
dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Permasalahan
Pokok Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini
disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak
begitu. Seringkali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian
karena pendidikan yang diberikan ternyata
berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir
(kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi
cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar
tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang
belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati,
membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering
disinyalir ialah pendidikan seringkali
dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan
istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan
yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire
(seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan
gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid
sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak
membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah
anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan
kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang
ketiga, dari model pendidikan yang demikian
maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini
hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap
zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan
fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan
manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu
gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan
ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan
kita.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi
justru perlunya menghadapi
permasalahan itu secara
cerdas dengan mengidentifikasi dan
memahami substansinya untuk kemudian
dicari solusinya.Makalah ini
berusaha mengidentifikasi dan
memahami
permasalahan-permasalahan pokok pendidikan di
Indonesia. Tilaar (1991)
mengidentifikasi di dalam dunia pendidikan kita sekarang mengalami 5 krisis
pokok antara lain meliputi: (1) kualitas, (2) relevansi, (3) elitism, (4)
manajemen, (5) dan masalah pemerataan pendidikan. Perlu pula
dikemukakan bahwa permasalah
pendidikan yang diuraikan
dalam makalah ini terbatas
pada permasalahan pendidikan
formal.
B. Kualitas
pendidikan
1.
Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis
depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah
dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2. Faktor eksternal, adalah
masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan
merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak
faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin
terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1.
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup
memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih
rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya
dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya
dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya
jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio
guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan
SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak
mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan
jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru.
Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang,
sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi
dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru
yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang
belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak
sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa
lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya
lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak
memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan
pendidikan yang berlangsung di sekolah harus
secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi
pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya
mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti
kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh
masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
C. Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Relevansi pendidikan merupakan
kesesuaian antara pendidikan dengan perkembangan di masyarakat. Misalnya: lembaga pendidikan tidak
dapat mencetak lulusan yang siap pakai, tidak adanya kesesuaian antara output
(lulusan) pendidikan dengan tuntutan perkembangan ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan
15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan
ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Untuk mengatasinya: membuat
kurikulum yang sesuai dengan perkembangan dunia usaha, mengganti kurikulum yang sudah tidak
sesuai dengan tuntutan zaman.
D. Elitisme
Elitisme
adalah kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah yang
menguntungkan kelompok minoritas yang justru mampu ditinjau secara ekonomi.
Misalnya: mahalnya pendidikan yang mengakibatkan hanya bisa dienyam oleh orang
yang kaya.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum
jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan
status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum
Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biaya pendidikan
di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam
sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen
dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi
korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar
hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui
sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan
Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53
(1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal
untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan
berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir.
Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan
agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara
donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan
tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah
status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika
alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses
masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu.
E. Manajemen
pendidikan
Dalam kajian ekonomi, pendidikan
dapat dipandang sebagi suatu industry, sebagai suatu industry pengembangan
manusia pendidikan harus dikelola secara professional. Ketiadaan manager
professional ini yang melingkupi kesemua jenjang dan jenis pendidikan menuntut
adanya kerja keras dari berbagai macam pihak, untuk bias tampil unggul dalam
dunia globalisasi, pendidikan bukan merupakan factor yang paling menentukan,
meskipun penting masih harus diperhitungkan dan ditingkatakan kekuatan factor-faktor
lain di samping pengelolaan sumberr daya manusia dan alam, adana dan
sumber-sumber lain yang terbatas perlu dialokasikan scara tepat, sangat
menentukan keberhasilan suatu program pendidikan yang didinginkan. Sebagai
contoh masalah pengelolaan Sekolah dasar (SD) merupakan kasus klasik dari
kesemrawutan model manjemen pendidikan di Negara kita, yang pada gilirannya
memberikan efek pada stiap usaha untuk meningkatkan mutu keluaran system
pendidikan. Munculnya Undang-Undang Tahun 1989 mengenai pelaksanaannya,
ternyata belum banyak menolong dalam membenahi manajemen sekolah dasar, begitu
pula otonomi pengelolaan Pendidikan Tinggi, khususnya yang menyangkut
masalah-masalah akademik dan financial masih perlu penyesuaian dengan
kelembagaan-kelembagaaanyang ada pada system pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan kita dibentuk
berdasarkan fungsi peranan pendidikan yang sudah ketinggalan jaman. Sebagaimana
dengan kebanyakan lembaga-lembaga social: uang, lembaga-lembaga itu tidak dapat
lagi mengikuti cepatnya laju pembangunan. Tidak mengherankan Tilaar (1994)
mengatakan bahwa pengelolaan pendidikan di Indonesia, termasuk lembaga dalam
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) perlu ditata kembali atau perlu
direstrukturisasi.
E. Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak
usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan
di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
F.
Keterkaitan antara Jenis Masalah Pendidikan dengan Kebijakan Pendidikan.
Pada awal
Repelita I terdapat ketidakseimbangan yang antara lain meliputi:
1.
Ketidakseimbangan antara jumlah penduduk usia sekolah
dengan jumlah fasilitasnya.
2.
Ketidakseimbangan antara bidang pendidikan dengan
kebutuhan tenaga kerja.
3.
Ketidakseimbangan antara jumlah SD, SMP, SMA dan
perguruan tinggi.
Selain ketidakseimbangan itu masih
ada masalah lain seperti:
1. Banyaknya buta aksara dan angka
2. Banyaknya siswa yang drop out.
3. Rendahnya kualitas hasil pendidikan.
4. Kurangnya tenaga pengajar.
5. Dalam administrasi pendidikan masih
terjadi kecurangan.
Untuk mengatasi masalah-masalah
bidang pendidikan tersebut, pemerintah mentapkan beberapa kebijaksanaan pada
Repelita I sampai Repelita V:
Repelita
I
1. Program pendidikan secara horisontal
lebih diarahkan kepada kebutuhan-kebutuhan pendidikan dan latihan untuk
sektor-sektor pembangunan yang diprioritaskan.
2. Program pendidikan secara vertikal
diarahkan kepada perbaikan keseimbangan dengan menitikberatkan kepada tingkat
pendidikan menengah.
Repelita II
Pemerataan dalam memperoleh
kesempatan pendidikan.
Repelita III
1.
Menyediakan fasilitas belajar pada pendidikan dasar bagi anak berumur 7-12
tahun
2. Menampung lulusan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi.
Repelita IV
Memprogramkan tiga kebijaksanaan
umum dalam pembangunan bidang pendidikan nasional yang meliputi: pendidikan
seumur hidup, pendidikan semesta menyeluruh dan terpadu serta kebijaksanaan
untuk membina kemajuan adat, budaya dan persatuan
Repelita V
1. Memperbaiki sistem dan multi
pendidikan dalam keseluruhan unsur, jenis, jalur, dan jenjangnya.
2. Meningkatan mutu kurikulum, silabus,
tenaga pengajar, pelatih, metode dan sarana pengajaran.
3. Meningkatkan pembudayaan nilai-nilai
Pancasila dalam rangka mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan
bangsa.
4. Meningkatkan mutu pendidikan.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan.
6. Menata kembali sistem pendidikan guru
dan tenaga pendidikan lainnya.
7. Melaksanakan penelitian dan
pengembangan pendidikan dan kebudayaan agar dapat menghasilkan gagasan-gagasan
baru yang berorientasi pada penyempurnaan sistem pendidikan yang efisien.
8. Penyeragaman mutu pendidikan melalui
pengembangan institusi dan sistem pengujian untuk semua jenis dan jenjang
pendidikan, agar dapat diupayakan standarisasi mutu pendidikan baik secara
regional maupun nasional.
Kebijakan
Pendidikan Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.
Masalah pendidikan yang menonjol
saat ini yaitu:
Ø Masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan.
Ø Masih rendahnya kualitas dan
relevansi pendidikan.
Ø Masih lemahnya manajemen pendidikan
Ø Belum terwujudnya kemandirian dan
keunggulan Iptek di kalangan akademisi.
Kebijakan yang diamanatkan GBHN 1999-2004 antara lain:
1) Mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh
rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas dengan
peningkatan anggaran yang berarti.
2) Meningkatkan kemampuan akademik dan
profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan
sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa
lembaga dan tenaga kependidikan.
3) Melakukan pembaharuan sistem
pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi peserta didik.
Kurikulum yang berlaku secara nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan
setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.
4) Memberdayakan lembaga pendidikan
baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan
kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung
oleh semua sarana dan prasarana yang memadai.
5) Mendukung pembaruan dan pemantapan
sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip disentralisasi, otonomi
keilmuan, dan manajemen.
6) Meningkatkan kualitas lembaga
pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk
memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
7) Mengembangkan kualitas sumber daya
manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai
upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda
dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lingkungan
sesuai dengan potensinya.
8) Meningkatkan penguasaan,
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa sendiri
dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah dan koperasi guna
meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat
teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik,
mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi
siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang
menjadi masalah mendasar dari pendidikan di
Indonesia adalah sistem pendidikan di
Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah
dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan
di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Achmad Munib,
S.H., M.Si. dkk., 2011. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT UNNES Press.